Image Text

Rabu, 30 Januari 2013

Indonesia Harus di Rubah


Oleh : Kurniawan Triwidya Arief
KITA semua merasa prihatin sekaligus sedih apabila dihadapkan kepada realita yang sedang terjadi dewasa ini di segenap lini kehidupan bangsa dan negara. Bukan hanya faktor objektif yang dirasakan masih jauh dari harapan ideal namun dari faktor subjektif pun kita masih dihadapkan pada kenyataan bahwa banyak anggota masyarakat yang berada dalam posisi apatis, dilematis hingga apolitis.
            Kita semua prihatin, betapa masih banyak diantara kita yang masih merasa enjoy dengan kondisi hari ini baik terhadap dirinya maupun yang berlaku terhadap lingkungan sekitarnya, tidak terlepas dari pengaruh kegagalan pendidikan politik yang tidak optimal dilakukan oleh partai politik sebagai instrumen demokrasi maupun dampak ketidak dewasaan politik yang dilakukan oleh aktor-aktor politik dalam memainkan peran fungsinya dalam mengabdikan diri terhadap kesejahteraan rakyat.
Situasi Hari Ini
            Saat ini, dapat dikatakan Indonesia dihadapkan dalam masa tersulit politik pemerintahan dan kegagalan negara dalam memberikan jaminan kesejahteraannya kepada warganya disepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri. Dimana masa peralihan yang saat ini kita kenal dengan era Reformasi dirasakan melenceng jauh dari cita-cita, tujuan dan nilai dari perubahan itu sendiri. Meningkatnya fenomena korupsi yang sudah akut dan melembaga, hilangnya peran negara di banyak fungsi dalam melindungi warga negaranya, munculnya tragedi pelanggaran HAM yang semakin memperpanjang daftar kedegilan negara, semakin lebarnya disparitas sosial, ekonomi, perlindungan hukum dan keadilan, kemudian membludaknya angka pengangguran nasional, meningkatnya konflik agraria, semakin banyaknya deregulasi yang tumpang tindih dengan hierarki kontitusional dan pembukaan UUD 1945, pembiaran bahkan pembelaan terhadap disfungsi peran aktor pemerintahan dan politik yang melenceng, pencabutan dan penghilangan stimulus/subsidi negara di berbagai bidang, komersialisasi pendidikan yang di legitimasi oleh pemerintah, fenomena floatmass yang di tunggangi berbagai kepentingan politis yang menjelma dalam berbagai ormas yang dikondisikan sebagai anjing penjaga stabilitas kekuasaan itu sendiri, kenyataan buruk dan rendahnya integritas para pemimpin mulai dari tingkat daerah maupun pusat yang selalu meninggalkan pesimistis publik dalam mempercayai kinerja pemimpinnya itu sendiri, hingga kepada hilangnya kedaulatan negara dalam mempertahankan hak politik serta kemanan  multilateral dan bilateralnya.
            Begitu banyak persoalan yang kita hadapi ini hari, seakan menjadi sebuah hutang masalah yang akan kita wariskan kepada generasi anak keturunan bangsa ini. Betapa tidak, dalam berbagai rilis media, survei lembaga independen, penelitian akademik, hingga kepada opini yang dilakukan terhadap kondisi Indonesia saat ini hampir sebagian besar menyimpulkan telah gagalnya pemerintah dalam mengelola negara. Celakanya, sebagian besar respon yang terjadi tidak pernah digubris oleh kekuasaan bahkan seringkali dianggap sebagai distorsi yang akan menganggu jalannya stabilitas nasional.
Reformasi Gagal Merubah Indonesia
            Melihat Indonesia dari kacamata media massa dalam beberapa bulan terakhir, kita ibarat disuguhi sebuah kapal yang seolah akan pecah. Mayoritas headlinemenyembulkan pesimisme publik soal pembangunan bangsa dan negara ke depan. Bahkan beberapa kalangan santer menyuarakan bahwa saat ini Indonesia hampir menjadi negara gagal. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Ditambah lagi, tingkat kepuasan terhadap Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono juga belum begitu menggembirakan, berada di bawah angka psikologis 50 persen. Seperti yang kita lihat dalam grafik Survei Kepuasan Publik Terhadap Pemerintahan Yudhoyono yang dilakukan oleh Tim Litbang Kompas yang dimuat di Harian Kompas pada hari selasa, 24 Januari 2012.
Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi
            Apa yang dinilai buruk atau negatif dalam demokrasi Indonesia sejauh ini berkaitan dengan tata kelola pemerintahan, terutama dalam penegakan hukum (rule of law) dan pengawasan terhadap korupsi (World Bank, 2011). Berkaitan dengan Penegakkan supremasi hukum dan pemberantasan kosrupsi di Indonesia, saya akan mengutip hasil Survei Nasional di 33 provinsi di Indonesia pada tanggal 8-17 Desember 2011 yang dilakukan oleh LSI (Lembaga Survei Indonesia) dengan hasil survei yaitu proporsi publik menilai bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat buruk dengan penilaian publik terhadap kondisi penegakan hukum pada 2011 adalah yang terburuk dalam 7 tahun terakhir.
           


            Salah satu sumber ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY (jilid dua) adalah pada bidang penegakan hukum, terutama performance lembaga-lembaga penegak hukum dalam memberantas korupsi (hasil Survei LSI Desember 2011). Dua institusi penegak hukum di bawah Presiden, yakni kepolisian dan kejaksaan, bertanggung jawab atas menurunnya kredibilitas pemerintah dalam menangani kasus korupsi. Publik secara umum menilai lembaga-lembaga publik strategis tidak bersih dari korupsi. Dan yang dinilai tidak bersih oleh paling banyak warga adalah Partai dan DPR. Namun di tengah-tengah perasaan negatif terhadap kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi ini, publik masih menaruh harapan pada KPK, Publik punya optimisme dan harapan pada KPK bahwa KPK yang sekarang bisa bekerja lebih baik dari yang sebelumnya. Dan tergantung KPK apakah ia mampu memenuhi harapan tersebut atau tidak. Bila tidak, rakyat akan semakin kecewa dengan lembaga-lembaga publik, dan lembaga-lembaga tersebut akan menghadapi krisis legitimasi publik yang akut.

Lebih Banyak Politikus Daripada Negarawan
            Busyro Muqoddas, Ketua KPK dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2011 di Taman Ismail Marzuki di bulan November 2011 menyatakan lembaga-lembaga negara banyak dihuni oleh para pemberhala nafsu dan syahwat politik kekuasaan. Naasnya, moralitasnya mendekati titik nol. Akibatnya, budaya korupsi di Indonesia menjadi kian mengakar. Jika kita cermati, perilaku yang ditunjukkan anggota legislatif saat ini telah mencederai rasa etika publik. Ditengah himpitan ekonomi yang mencengkeram masyarakat, seringkali para anggota dewan malah mempertontonkan kemewahan dan gaya perlentenya atas biaya negara di tengah jeritan persoalan masyarakat yang kian hari kian runyam.
            Perlu di ketahui, sesuai yang pernah dilansir oleh salah satu media nasional gaji pokok dan tunjangan Anggota DPR sangatlah tinggi. Dalam media itu disebutkan dalam setahun anggota DPR bisa mengumpulkan pendapatan sebanyak Rp 600 juta rupiah. Jika dikalikan 5 tahun masa jabatan yang diemban, anggota DPR bisa meraup uang sebesar 3 miliar rupiah. Belum lagi tunjangan rapat, studi banding dan sebagainya. Tentu sebuah nilai yang cukup besar. Sayangnya, besarnya pendatan ekonomi yang diterima anggota DPR ini tak disertai sikap kenegarawanan yang baik. Anggota DPR yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat dan menyatukan diri dengan penderitaan masyarakat, malah hidup mewah dan mempertontonkannya ke publik. Seandainya mereka bukan pejabat publik, rasanya tak menjadi persoalan. Namun ketika pendapatan ekonomi yang besar itu didapat dari uang rakyat, disinilah proses pencideraan itu terjadi.
            Lebih parah, ditengah hidup gaya parlente dari uang rakyat, anggota DPR belum juga menunjukkan kinerja yang baik. Sepanjang tahun 2010 misalnya, DPR hanya dapat menyelesaikan 16 undang-undang dari 70 undang-undang yang ditargetkan (detiknews.com). Masih tersisa sebanyak 54 RUU yang statusnya tidak tuntas dibahas atau malah naskah RUU-nya belum disiapkan. Dari sisi keaktifan kehadiran, anggota DPR juga menyuguhkan semangat yang sangat minim. Dalam beberapa rapat besar DPR, bangku kosong kerap menghiasai media massa. Itu sebabnya, publik menilai kinerja anggota legislatif menjadi buruk. Merujuk data survei nasional DCSC Indonesia pada rentang waktu 12 – 20 Oktober 2011, mayoritas publik sebanyak 52.1%, menilai bahwa anggota legislatif tidak peduli untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya. Begitu pula dengan tingkat kemampuan melakukan tugas kedewanan, sebanyak 45.3% publik menilai anggota dewan tidak memiliki kemampuan. Merujuk kondisi tersebut, semestinya anggota DPR lebih mawas diri. Sebagai pejabat publik dan digaji dari uang rakyat, mereka harus sadar bahwa mereka tak bisa lepas dari sorotan.
            Apabila kita cermati dari apa yang dilakukan oleh anggota DPR seperti terilustrasi di atas, disebabkan besarnya porsi "tujuan memburu benefit" atau kita kenal dengan istilah power-seeking politician dari pada mementingkan "tujuan ideal lembaga DPR". Tujuan ideal lembaga DPR adalah untuk mengagregasi serta mengartikulasikan kepentingan rakyat. Dan oleh publik, tugas ini dipandang tak berhasil dilakukan oleh anggota dewan (merujuk data survei DCSC Indonesia). Mereka memperebutkan posisi kursi di DPR karena Pertama, ingin melakukan akumulasi ekonomi sebanyak-banyaknya. Yaitu mengumpulkan kekayaan seperti telah dikutip di atas. Tujuan Kedua, adalah memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk tujuan kekuasaan politik, yakni tetap dapat mempertahankan kedudukannya dalam pemilu selanjutnya.
            Apabila melihat dalam fenomena yang di kemukakan diatas, argumentasi dasar power-seeking politician ini ialah para politisi yang merupakan makhluk rasional yang tidak steril dari perhitungan untung-rugi dalam setiap mengambil keputusan (karena sebagaian besar politikus saat ini kebanyakan tidak memiliki pengalaman pendidikan politik yang memadai). Menurut Grindle (1989), Kepentingan utama dari politisi saat ini adalah memaksimalkan, dan bila mungkin, mempertahankan kekuasaan yang dimiliki (lazim kita kenal sebagai makiavelis). Untuk tujuan ini, maka para politisi akan dimotivasi oleh keinginan menggunakan sumber daya (resources) apa saja yang dimiliki guna memberikan ganjaran kepada siapa saja yang mendukung mereka, dan memberikan hukuman kepada siapa saja yang mencoba mengganggu.
            Padahal menurut Sutan Sjahrir seperti yang dikutip oleh Ignas Kleiden (2006) dalam Etos Politik Dan Jiwa Klasik, memenggal sajak seorang politisi jerman Friedrich Schiller, das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen  yang dapat diartikan ‘politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri’, Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik, hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. lanjut menurut Sjahrir politik adalah usaha dan upaya untuk mewujudkan nilai nilai martabat dan kesejahteraan manusia, bukan sebagai instrumen dan upaya seperti apa yang dikemukakan oleh Grindle.
            Maka dari itulah baru disini dirasakan ketepatan pemikiran Sutan Sjahrir bahwa partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik, dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin.    
Karena itu selain revolusi nasional dibutuhkan juga suatu revolusi sosial yang dinamakan oleh bung sjahrir sebagai revolusi kerakyatan yaitu membebaskan dan memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia. Karena Kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakat-bakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan.
Indonesia Memilih Indonesia Memilih Indonesia Memilih Indonesia Memilih

0 Komentar
Twit
Komentar

0 komentar:

Posting Komentar